Halaman Terakhir (1)
“Maaf, aku membuat mu kecewa dan sakit.”
“Gapapa, santai aja.”
“Gak bisakah kita memperbaiki nya lagi? aku benar-benar gak mau ini berakhir.”
“Maaf, tapi aku sudah lelah dan di ambang batas untuk menghadapi mu.”
“Bisakah kita kembali bersama?”
“Itu bagaimana semesta, aku tak bisa menjanjikan apa-apa.”
“Aku mencintai mu Dilla.”
__________________________________________________________________
Itulah percakapan terakhir kita di bulan Juni, di mana kita berdua memutuskan untuk berpisah setelah 4 tahun bersama. Aku tak pernah menduga bahwa hari ini akan datang, hari di mana kita kembali menjadi orang yang saling tak mengenal. Dan hingga kini, aku selalu bertanya kepada semesta.
“Kapan kami bisa kembali bersama? “
Aku sempat sampai pada kebuntuan jalan hidup ku, menyesal karena terlambat aku sadar. Aku lah penyebab kita berpisah, aku yang tanpa sadar mengusir mu pergi dari rumah yang kita bangun bersama. Aku yang tak menghargai perhatian dan sayang mu karena terlalu sibuk mengeluhi sikap mu yang tak cocok denganku. Aku yang selalu menuntut mu untuk mengerti tanpa sadar aku sendiri tak pernah mencoba memahami mu. Aku sadar tak pernah ada yang namanya mengulang waktu, tapi meminta kesempatan sekali lagi adalah hal yang wajar bukan
Setelah sekian lama aku menutup diri dan membatasi rasa ingin tahuku tentang kabar mu, tanpa ku sadari sudah 2 tahun berjalan sejak hari perpisahan kita. Sesekali aku berpikir bahwa mungkin kamu juga menunggu dan menginginkan ku untuk kembali. Berharap aku muncul di hadapan mu dan kembali memeluk mu dengan erat. Namun, aku rasa itu hanya akan jadi pikiran ku semata. Karena hari ini, aku berada di depan mu, berhadapan dengan mu seperti apa yang aku harapkan. Bukan untuk memeluk mu, tapi memberi mu ucapan selamat dan doa agar selalu bahagia bersama pria yang ada samping mu, di atas altar ini. Altar yang seharusnya menjadi tempat mu dan aku saling berciuman dan berbahagia.

No comments:
Post a Comment